ETIKA PEMASARAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana kita mengetahui bahwa orientasi ilmu
pemasaran adalah pasar. Sebab pasar
merupakan mitra sasaran dan sumber penghasilan yang dapat menghidupi dan
mendukung pertubuhan perusahaan. Oleh
karena itu segala upaya dalam bidang pemasaran selalu berorientasi pada
kepuasan pasar. Dan jika pasar dilayani oleh perusahaan, kemudian pasar merasa
puas, maka hal ini membuat pasar tetap loyal terhadap produk perusahaan dalam
jangka waktu yang panjang. Untuk itu kita dituntut bukan saja mempercanggih
teknik pemasaran kita tetapi juga memperhatikan tanggung jawab terhadap
konsumen dan masyarakat.
B. Tujuan
Agar
mahasiswa mengerti tentang Etika Pemasaran dalam suatu perusahaan.
C. Pemahanan
Kosep
Kotler dan Amtsrong mendefinisikan
pemasaran (marketing) sebagai proses dimana
perusahaan menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat
dengan pelanggan, dengan tujuan menangkap nilai dari pelanggan sebagai
imbalannya.
Ada tiga kata kunci yang kuat dari konsep
Kotler dan Amstrong mengenai pemasaran:
- Pemasar harus memahami dan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen (itu sebabnya dengarkan konsumen Anda!);
- Menciptakan hubungan yang kuat dengan pelanggannya; dan
- Akhirnya mendapatkan imbalan dari pelanggan sebagai gantinya.
Dalam kenyataannya tidak pernah ada
hubungan yang langgeng dari pelanggan terhadap pemasar kalau pembeli tidak
untung. Ujungnya, ini kemungkinan besar merugikan pemasar juga. Dulu kita
memahami kata bijak ini: satu konsumen yang tidak puas akan bercerita pada
sembilan orang lainnya. Namun di zaman informasi saat ini, ternyata satu
konsumen bisa cerita kemana-mana melalui blogs, facebook ataupun media lainnya.
Tentu saja sebagai entrepreneurs yang
etis, kita akan berkomitmen menjadi pemasar yang baik, sungguh pun bisa tidak
ketahuan kalau menjadi pencuri.
Tiga pendekatan
yang dikemukaan Velasques :
1. Teori Kontrak
Menurut teori kontrak,
hubungan antara perusahaan dan konsumen merupakan hubungan kontraktual, jadi
kedua belah pihak menuangkan hak dan kewajibannya pada kontrak penjualan
bersama yang dilakukan secara suka rela dan kesadaran. Dari pendekatan deontologi
kita melihat bahwa ini memiliki dasar moral yakni ”seseorang berkewajiban
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian harus dia lakukan karena kegagalan
melaksanakan kewajiban merupakan tindakan yang (a) tidak dapat diuniversalisasikan,
dan (b) memperlakukan orang lain sebagai sarana, bukan tujuan.
Tentu saja kedua belah pihak tidak
boleh dengan sengaja menyalahartikan fakta-fakta perjanjian pada pihak lain
atau memberikan gambaran yang salah karena menurut Kant, misinterpretasi ini
tidak bisa diuniversalisasikan dan bertentangan dengan kehendak baik. Juga
tidak boleh perjanjian dibuat karena keterpaksaan atau pengaruh lain serta dengan
menyembunyikan informasi yang perlu diketahui konsumen karena bertentangan
dengan menjadikan manusia sebagai tujuan dan bukan sekadar sarana.
Kelemahan
Pendekatan Teori Kontrak :
Sekilas tampak sulit buat perusahaan
untuk melakukan perjanjian secara langsung dengan konsumen. Namun untuk
argumentasi ini, mereka yang setuju teori kontrak mengatakan perusahaan dapat
mempromosikan produknya melalui iklan, dan melaluinya perusahaan melakukan
hubungan kontraktual secara tidak langsung. Akan tetapi keberatan utama
pendekatan ini adalah pada asumsi bahwa posisi pembeli dan penjual setara atau
sama
dalam hal penguasaan informasi, dan kerentanan terhadap dampaknya. Dalam
hal ini teori kontrak pun masih berlaku doktrin caveat emptor: biarkan
pembeli melindungi dirinya sendiri
2.
Teori Due Care
Teori due care mendasarkan diri
pada asumsi pembeli dan konsumen adalah tidak sejajar, bahwa
kepentingan-kepentingan konsumen sangat rentan mengingat perusahaan memiliki pengetahuan
dan keahlian yang tidak dimiliki oleh konsumen. Produsenlah yang tahu untuk ukuran
mobil seperti ini letak desain tangki bensin harus dimana agar tidak terbakar
ketika tabrakan, komponen mana yang tidak tahan panas sehingga membahayakan,
atau berapa kekuatan ban yang baik sehingga tidak aman untuk digunakan.
Produsenlah yang tahu bahan jenis apa yang dicampurkan sebagai pengawet dengan
jumlah berapa banyak yang masih aman untuk konsumsi manusia. Pembeli kebanyakan tidak tahu.
Di sini yang berlaku adalah caveat vendor: biarkan penjual yang harus
berhati-hati. Saat ini terlalu banyak produk yang canggih, yang sebagai
konsumen kita tidak tahu carakerjanya, menggunakan bahan apa, berbahaya atau
tidak dan sebagainya. Menurut pandangan due care, produsen tidak hanya
berkewajiban untuk memberikan produk yang sesuai dengan klaim yang dibuatnya
(seperti teori kontrak) tetapi juga wajib memperhatikan dampak produk,
mencegah, mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
produk mereka aman dan konsumen punya
hak untuk memperoleh jaminan ini walau secara eksplisit mereka sudah melakukan
tanda tangan kontrak dan tidak menyebutkan hal ini atau sebaliknya.
Menurut teori ini, seorang produsen
tidak bisa dikatakan lalai secara moral jika kerugian yang terjadi tidak bisa
diperkirakan sebelumnya. Contoh, pemakai mobil yang ceroboh sehingga
mengakibatkan kecelakaan pada dirinya, tidak tercakup dalam tanggung jawab
produsen tentunya. Akan tetapi ketika desain mobil tidak memperhitungkan
perangkat pengaman, bahan ban yang mudah meledak di tengah jalan termasuk dalam
lingkup tanggung jawab produsen.
Kelemahan Teori Due Care
Dalam kenyataannya adalah sulit
menentukan batas apa yang disebut perhatian memadai (due care). Prinsip
utilitarian yang menyatakan: ”semakin besar kemungkinan risikonya, semakin
besar populasi yang mungkin dirugikan, maka semakin besar pula kewajiban perusahaan”,
ternyata tidak selalu dapat diterapkan. Contoh terlalu banyak teknologi baru yang
bermunculan dan risikonya baru diketemukan kemudian. Setelah beberapa tahun dan
ribuan orang menggunakan asbes, baru diketemukan korelasi antara munculnya
kanker dengan penggunaan asbes. Jadi siapa yang harus menanggung biaya kerugian
atas produk-produk yang kerusakannya belum dapat diidentifikasi oleh produsen,
apalagi konsumen?
Tentu saja banyak produk baru yang
kita juga tidak ket ahui apa dampaknya jangka panjang. Misalnya, apakah
anak kecil yang sekarang menggunakan handphone aman dari radiasi
frekuensi? Apakah dampaknya secara jangka panjang kalau mereka terus menerus menggunakan
handphone?
3. Teori Social Cost
Menurut teori social cost,
perusahaan wajib menanggung semua kerugian termasuk kerugian yang tidak bisa
diperhitungkan sebelumnya yang diakibatkan oleh kerusakan produknya.
Apa itu biaya sosial atau social
cost? Jika perusahaan Anda memiliki pabrik yang memproduksi suatu produk,
dan selain produk, yang dihasilkan adalah pencemaran atau polusi, maka
sebenarnya biaya polusi itu ada. Namun seringkali perusahaan tidak menanggung
biaya ini. Konsumen yang membeli produk dari perusahaan tersebut juga tidak
menanggung social cost ini karena perusahaan tidak membebankan biaya
tersebut dalam proses produksi. Akan tetapi orang miskinlah yang menanggung
biaya tersebut karena yang rumah yang dekat daerah polusi adalah murah,
sementara kemungkinan akan banyak orang miskin yang tinggal di sana, dan orang
kaya akan menghindari daerah demikian. Dalam hal ini, etika melihat terjadi
ketidakadilan.
Maka dalam kasus ini, teori keadilan
menyatakan bahwa biaya pengendalian polusi harus ditanggung oleh pihak yang menyebabkan
polusi dan yang memperoleh keuntungan darinya yakni produsen dan konsumen,
sementara keuntungan pengendalian polusi wajib diberikan kepada pihak yang
selama ini menanggung social cost dalam hal ini orang-orang miskin
tersebut.
Dari kacamata utilitarian, pendekatan
ini menguntungkan karena perusahaan dituntut untuk bekerja lebih efisien
terhadap sumber daya yang ada karena beban social cost ada pada mereka,
dan dengan dimasukkannya social cost dalam perusahaan, maka perusahaan
dapat juga mendistribusikan biaya sosial tersebut ke semua pemakai produk
sehingga tidak hanya kepada korban yang menanggungnya.
Kelemahan Teori Social Cost
Beberapa pengamat menyatakan bahwa
harus ada keseimbangan antara tanggung jawab produsen dan konsumen karena kalau
semua biaya ditanggung oleh produsen maka justru akan terjadi peningkatan
kecerobohan oleh konsumen sendiri. Selain itu, karena social cost ditanggung
oleh produsen, besar kemungkinan harga produk akan naik, sehingga tentu ini akan
merugikan konsumen pula. Akan tetapi teori ini memberikan kesadaran bagi pengusaha
untuk selalu mengadakan riset dan berusaha memperkecil dampaknya terhadap lingkungan
dan masyarakat sekitarnya.
Akhirnya ketiga pendekatan ini memang
dapat diterima oleh pendekatan deontologi maupun utilitarianisme. Namun, tampak
niat baik yang dikemukakan deontologi menjadi salah satu komponen penting yang
membedakan, serta seberapa jauh orang bertanggung jawab atas kesalahan yang
tidak mereka sadari bersama. Sementara kesadaran social cost adalah bagian
dari penerapan utilitarianisme secara konsekuen yang melihat dampak terhadap masyarakat
sekitar perlu diperhitungkan sebagai cost juga.
Fungsi Promosi
atau Periklanan
Promosi atau iklan sesungguhnya mempunyai
fungsi memberikan informasi yang lengkap dan akurat kepada masyarakat tentang
sesuatu yang dipromosikan. Unsur promosi
dalam bauran pemasaran, harus memiliki peran yang benar, yang dapat diukur
dengan kritria sebagai berikut :
1. Sebagai sarana menyampaikan
informasi yang benar dan obyektif tentang kandungan atau komposisi barang yang
dipromosikan;
2. Sebagai fungsi menjelaskan
fungsi manfaat positif barang bagi manusia;
3. Sebagai sarana memberikan
image yang benar terhadap perusahaan;
4. Tidak ada unsur maksud
memperdaya atau memanipulasi terhadap masyarakat konsumen;
5. Selalu berpedoman pada
prinsip-prinsip kejujuran;
6. Bermaksud tidak mengecewakan
konsumen dalam arti memberikan kepuasan yang terpercaya.
Unsur kejujuran sesuai dengan
realita barang yang dipromosikan justru merupakan kunci dalam etika promosi.
Maka sebagai konsumen kita tanggung jawab
ataupun kewajiban sebagai berikut:
1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
D. Penutup
Prinsip Etika dalam bauran pemasaran,
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Etika pemasaran dalam kontek
produk :
a. Produk yang berguna dan
dibutuhkan;
b. Produk yang berpotensi ekonomi
atau benefit;
c. Produk yang bernilai tambah
yang tinggi;
d. Dalam jumlah yang berskala ekonomi dan sosial;
e. Produk yang dapat memuaskan
masyarakat.
2. Etika pemasaran dalam konteks
harga :
a. Beban cost produksi yang wajar;
b. Sebagai alat kompetisi;
c. Diukur dengan kemampuan daya beli masyarakat;
d. Margin perusahaan yang layak;
e. Sebagai alat daya tarik bagi
konsumen.
3. Etika pemasaran dalam kontek
distribusi :
a. Kecepatan dan ketepatan waktu;
b. Keamanan dan keutuhan barang;
c. Sarana kompetisi memberikan
pelayanan kepada masyarakat;
d. Konsumen mendapat palayanan
tepat dan cepat.
4. Etika pemasaran dalam konteks
promosi :
a.
Sarana memperkenalkan barang;
b.
Informasi kegunaan dan kualifikasi barang.
c.
Sarana daya tarik barang terhadap konsumen;
d.
Informasi fakta yang ditopang kejujuran.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Keraf, Sony A, Etika Bisnis Tuntutan dan
Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, Edisi Baru, 1998.
2. Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif
dan Fungsional, 1998.